ILMU KELAUTAN September 2010. vol. 15 (3) 126-134 ISSN 0853-7291 Kandungan Merkuri dan Sianida pada Ikan yang Tertangkap dari Teluk Kao, Halmahera Utara Domu Simbolon1*), Silvanus Maxwel Simange2) dan Sri Yulina Wulandari3) 1*)Departemen PSP, FPIK-IPB Bogor, Jl. Agatis, Kampuas IPB Darmaga, Bogor. Hp. 085888656767, domu_psp@yahoo.com 2) Politeknik Perdamaian Halmahera, Tobelo-Halmahera Utara 3) Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang Abstrak Aktivitas penambangan emas di sekitar Teluk Kao berdampak positif terhadap pendapatan daerah Kabupaten Halmahera Utara. Namun, penggunaan merkuri (Hg) dan sianida (CN) dalam proses ekstraksi emas dapat menimbulkan pencemaran perairan, keracunan dan kematian terhadap sumberdaya ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan merkuri dan sianida pada tubuh ikan, dan menentukan tingkat kelayakan konsumsi ikan yang tertangkap dari Teluk Kao. Metode penelitian yang digunakan adalah survei. Data penelitian dikumpulkan dari bulan Maret-Juni 2010 di sekitar muara sungai tempat pembuangan limbah perusahaan penambangan emas Tanjung Taolas dan Akesone, di Teluk Kao. Sampel ikan yang diteliti adalah kakap merah, belanak, ikan biji nangka, dan udang. Analisis kandungan Hg dan CN pada tubuh ikan dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan Institut Pertanian Bogor dengan menggunakan metode Atomic Absoption Spectrophotometry (AAS). Hasil penelitian menunjukkan kandungan Hg pada organ hati dari keempat jenis ikan sampel berkisar 0,13-0,51 ppm. Kandungan Hg pada organ hati lebih tinggi dibandingkan dengan organ daging yang berkisar 0,03-0,19 ppm. Kandungan Hg tertinggi pada hati ikan ditemukan pada ikan biji nangka (0,45-0,51). Kandungan CN pada organ hati lebih tinggi (6,0-18,0 ppm) dibanding dengan organ daging (4,2-8,5 ppm). Mengacu pada standar yang ditetapkan oleh WHO, maka ikan kakap merah dan belanak tidak layak dikonsumsi. Daging ikan biji nangka dan udang masih layak dikonsumsi maksimal 300 gram/hari. Kata kunci: merkuri, sianida, ikan konsumsi, Teluk Kao. Abstract Gold mining activities around the Kao Bay have a positive impact on regional income of North Halmahera. However, the use of mercury (Hg) and cyanide (CN) in the gold extraction process can cause water pollution, poisoning and death of fish resources. This study aims to determine the content of mercury and cyanide on the fish body, and determine the feasibility level of consumption of fish caught from the Kao Bay. This research used survey method. Data were collected from March-June 2010 near waste disposal around the estuary of the river of gold mining companies in Tanjung Taolas and Akesone, Kao Bay. Samples of fish were observed are red snapper, mullet, jack fruit fish, and shrimp. Analysis of the Hg and CN content in fish body was conducted in Productivity and Environmental Waters Laboratory, Bogor Agricultural University using Absoption Atomic Spectrophotometry (AAS) method. The content of Hg in four species of fish liver samples ranged from 0.13 to 0.51 ppm. The content of Hg in liver was higher than with the organ meats that range from 0.03 to 0.19 ppm. The highest Hg content in fish liver found in jackfruit fish (0.45 to 0.51). CN content of the liver was higher (6.0 to 18.0 ppm) compared with muscle (4.2 to 8.5 ppm). Referring to the standards by WHO, the red snapper and mullet inedible (can not eat for consumption). Jackfruit fish and shrimp still worth consumed for a maximum of 300 grams / day. Key words: mercury, cyanide, fish consumption, Kao Bay. Pendahuluan Potensi sumberdaya ikan merupakan sumber mata pencaharian utama bagi nelayan di sekitar Teluk Kao, Kabupaten Halmahera Utara. Selain sumberdaya ikan, kawasan Teluk Kao juga memiliki kekayaan sumberdaya non hayati berupa emas yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Potensi emas ini menjadi daya *) Corresponding author © Ilmu Kelautan, UNDIP tarik bagi berbagai pihak untuk mengeksploitasinya. Sejak tahun 1998, PT. Nusa Halmahera Mineral (PT. NHM) telah mengeksploitasi emas di kawasan tersebut dengan luas wilayah tambang 1.672.968 ha. Selain itu, terdapat penambangan emas tanpa izin (PETI) yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam proses ekstrasi emas dari batuan, PT. NHM menggunakan sianida (CN), sedangkan PETI menggunakan merkuri (Hg). Kedua www.ijms.undip.ac.id Diterima/Received: 0-0-2010 Disetujui/Accepted: 0-0-2010 ILMU KELAUTAN September 2010. vol. 15 (3) 126-134 jenis bahan kimia sisa proses ekstrasi ini belum diolah dengan baik, sehingga limbahnya masuk ke sungai yang mengalir melewati kedua lokasi penambangan dan kemudian bermuara ke Teluk Kao. Edward (2008) melaporkan hasil penelitian bahwa Teluk Kao telah tercemar kandungan Hg yang berasal dari proses penambangan emas di sekitarnya. Kondisi ini tentu saja akan mempersulit sumber penghidupan nelayan di sekitar Teluk Kao akibat terancamnya kualitas daerah penangkapan ikan dan kegiatan budidaya ikan oleh limbah Hg. Isu pencemaran logam berat di Teluk Kao semakin menimbulkan keresahan masyarakat karena kawatir akan terjadi kasus seperti di Teluk Buyat di Sulawesi Utara. Logam berat Hg dan CN yang mencemari perairan dapat menimbulkan dampak biologi yang serius terhadap penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya ikan karena logam berat mengkontaminasi dan terakumulasi pada tubuh biota laut melalui rantai makanan (Kambey et al., 2001; Limbong et al., 2003). Halsted (1972) menyatakan bahwa bahan kimia toksik tidak dapat didegradasi secara alamiah di laut, sehingga akan mengganggu terhadap kehidupan organisme. Biota laut termasuk ikan yang mengkonsumsi logam berat akan mengalami bioakumulasi di dalam tubuhnya (Hutagalung, 1984). Ikan yang tertangkap di daerah tercemar dengan logam berat seperti Hg dan CN terkadang memiliki tumor pada bagian badannya dan juga luka-luka erosi yang disebabkan oleh bahan kimia toksik. Jika ikan ini dikonsumsi oleh manusia, maka akumulasi logam yang cukup tinggi dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit dan kematian (Ogola et al., 2002; Baker et al., 2004). Untuk mengetahui sampai sejauh mana dampak biologis yang ditimbulkan oleh aktivitas penambangan emas di sekitar Teluk Kao, perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengukur kandungan merkuri dan sianida pada tubuh ikan, dan menentukan tingkat kelayakan konsumsi ikan yang tertangkap dari Teluk Kao. Dengan demikian, masyarakat, pemerintah dan stekeholders lainnya dapat memperoleh informasi yang lebih lengkap dan akurat untuk dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan potensi Teluk Kao. Materi dan Metode Pengambilan data berlangsung selama 2 bulan (Maret-Mei 2010) di perairan Teluk Kao, Kabupaten Halmahera Utara (Gambar 1). Analisis sampel ikan dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan (ProLing), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: ikan sampel untuk diamati kandungan sianida (CN) dan merkurinya (Hg), wadah yang terbuat dari styrofoam untuk menyimpan ikan sampel sebelum dilakukan uji laboratorium, kertas label untuk memberi tanda terhadap sampel ikan, es untuk menjaga ikan sampel agar tidak busuk, spektrofotometer penyerap atom (atomic absorption spectrophotometer, AAS) untuk analisis kandungan logam berat dalam tubuh ikan, larutan HNO3, SnCl2, HgSO4, dan HCI04. Lokasi pengambilan sampel ikan dilakukan di Tanjung Taolas dan Tanjung Akesone Teluk Kao. Penentuan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa kedua lokasi tersebut merupakan muara sungai yang bersumber dari lokasi penambangan emas yang dilakukan PT. NHM dan PETI. Tanjung Taolas merupakan muara sungai Taolas yang melewati lokasi penambangan emas yang dikelola PT. NHM, sedangkan Tanjung Akesone merupakan muara Sungai Tabobo yang melewati lokasi penambangan emas PETI. Penelitian menggunakan metode survei dengan melakukan observasi dan wawancara terhadap nelayan yang menggunakan bagan dan pancing. Penentuan unit penangkapan ini dilakukan secara purposive sampling karena kedua jenis alat tangkap inilah yang beroperasi selama penelitian. Bagan dan pancing ini dioperasikan masing-masing sebanyak empat kali trip di dua lokasi pengamatan. Ikan hasil tangkapan disortir dan dipisah menurut jenisnya kemudian ditetapkan jenis ikan sampel. Jenis ikan yang dijadikan sebagai sampel pengamatan adalah ikan yang tidak memiliki mobilitas tinggi, yaitu kakap merah (Lutjanus saguineus), belanak (Valamugil speigleri), biji nangka (Upenus sulphureus), dan udang putih (Penaeus merguiensis). Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa ikan/udang tersebut diasumsikan tidak bermigrasi jauh untuk menghindari perairan yang tercemar oleh logam berat Hg dan CN, sehingga ikan/udang sampel yang diamati dapat dipastikan tidak berasal dari kawasan perairan di luar Teluk Kao. Ikan sampel diambil secara acak dari hasil tangkapan yang telah disortir, yaitu 2 ekor biji nangka dari 8 ekor tangkapan, 3 ekor kakap merah dari 12 ekor tangkapan, 2 ekor belanak dari 10 ekor tangkapan, dan 2 ekor udang putih dari 12 ekor tangkapan. Ikan sampel berikut es dimasukkan dalam wadah yang terbuat dari styrofoam, lalu diberi label untuk mengetahui jenis ikan dan lokasi penangkapan. Ikan sampel ini disimpan dalam coolbox agar kualitasnya tetap bagus sebelum uji laboratorium. Kandungan Merkuri dan Sianida pada Ikan yang Tertangkap dari Teluk Kao, Halmahera Utara (D. Simbolon et al.) 127 ILMU KELAUTAN September 2010. vol. 15 (3) 126-134 Logam berat Hg dan CN yang larut di perairan akan terkonsumsi bersama makanan dan disebarkan ke seluruh tubuh ikan dan sebagian disimpan sebagai cadangan energi dalam organ hati (Moore et al., 1986). Oleh karena itu, pengamatan kandungan Hg dan CN perlu dilakukan pada organ hati dan daging ikan. Analisis logam berat dilakukan menggunakan alat Atomic Absoption Spectrophotometry (AAS). Sebagian dari organ (daging dan hati) ikan ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu. Larutan asam (HCI04, HNO3) ditambahkan ke dalam labu dengan perbandingan 1:4, lalu dikocok dan didiamkan selama satu malam. Contoh organ ikan dan larutan asam dalam labu didestruksi tetapi tidak sampai kering, dengan cara memanaskan pada suhu awal 100˚C sampai uap coklat dari nitrat hilang, kemudian menaikan suhu sampai 200˚C hingga larutan jernih dengan volume kira-kira 1,2 ml. Larutan tersebut diencerkan menjadi 20 ml dengan menggunakan akuades, kemudian dikocok dan dibiarkan selama satu malam hingga mengendap dan larutan bening. Tahapan terakhir, pengukuran kandungan sianida dilakukan dengan menggunakan metode/alat APHA, ed.20,1998,4500-CN-E/Spektro, dan pengukuran kandungan merkuri menggunakan metode/alat APHA,ed.20,1998,3500-Hg/Spektro. 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, baku mutu air golongan C adalah 0,002 ppm untuk Hg dan 0,02 ppm untuk CN. Hal ini berarti bahwa kandungan Hg dan CN di perairan Teluk Kao masih di bawah nilai ambang batas. Namun demikian, apabila usaha penambangan emas tidak mengolah limbah secara baik, maka kandungan Hg dan CN di perairan Teluk Kao akan terus meningkat dan terakumulasi hingga melebihi nilai ambang batas. Kandungan logam berat Hg dan CN pada ikan dibandingkan dengan nilai ambang batas Hg dan CN yang diperbolehkan oleh aturan yang berlaku. Sesuai dengan aturan WHO yang diacu dalam Darmono (2008), nilai batas ambang merkuri dan sianida dalam kondisi masih aman dalam tubuh ikan masing-masing sebesar 0,5 ppm dan 4,5 ppm. Kandungan merkuri (Hg) dalam tubuh ikan Hasil dan Pembahasan Kandungan logam berat di perairan teluk kao Berdasarkan uji laboratorium terhadap air laut, kandungan merkuri pada semua lokasi pengamatan (dua lokasi di Tanjung Taolas dan dua lokasi di Tanjung Akesone) menunjukkan nilai yang sama, yaitu 0,0002 ppm. Kandungan sianida pada semua stasiun pengamatan juga memiliki nilai yang sama, yaitu 0,001 ppm. Kandungan Hg dari hasil penelitian ini lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil penelitian Edward (2008), yaitu 0,001 ppm. Hal ini dimungkinkan karena waktu pengambilan sampel air ini dilakukan pada musim hujan. Kinghorn et al. (2007) menyatakan bahwa pada musim hujan, kandungan logam berat dalam air cenderung lebih kecil karena proses pelarutan, sedangkan pada musim kemarau kandungan logam akan lebih tinggi karena logam menjadi terkosentrasi. Berdasarkan Undang-undang No 23 tahun 128 Keberadaan logam berat yang masih dalam kategori rendah dalam suatu perairan tidak selalu mengindikasikan bahwa kandungan logam berat dalam tubuh ikan juga masih rendah. Menurut Supriharyono (2007), kandungan logam berat dalam tubuh organisme di perairan dapat mencapai 100.000 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan logam berat di perairan itu sendiri. Hasil penelitiaan Diniah (1995) juga membuktikan, bahwa kandungan Hg di perairan Teluk Jakarta sebesar 0,00216 ppm, namun kandungan Hg dalam daging ikan telah mencapai 0,80448 ppm. Hal ini disebabkan bahan kimia di perairan akan diabsorpsi organisme melalui proses biokonsentrasi, bioakumulasi dan biomagnifikasi sehingga kosentrasi bahan kimia akan meningkat dalam tubuh organisme dibandingkan dengan perairan itu sendiri (Barmawidjaya et al., 1989). Hasil tangkapan dari Tanjung Taolas adalah kakap merah (Lutjanus saguineus), biji nangka (Upenus sulphureus), dan udang putih (Panaeus merguiensis), sedangkan di Tanjung Akasone tertangkap belanak (Valamugil speigleri), biji nangka (Upenus sulphureus), dan udang putih (Panaeus merguiensis). Logam berat yang larut di perairan kemungkinan besar akan menyebar ke beberapa organ tubuh ikan seperti bagian daging dan hati. Kandungan merkuri yang ditemukan pada organ hati pada umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan daging ikan (Tabel 1). Hasil penelitian ini menunjukkan pola yang sama dengan penelitian Darmono (2008), yang melaporkan bahwa akumulasi logam berat pada organ hati ikan lebih banyak dibandingkan dengan ginjal, dan pada organ ginjal lebih banyak dibandingkan dengan daging. Kakap merah yang hanya tertangkap di Tanjung Taolas, dan belanak yang hanya tertangkap di Tanjung Akesone memiliki kandungan merkuri yang lebih tinggi pada dagingnya dibandingkan dengan ikan biji nangka dan udang yang tertangkap di kedua lokasi penangkapan (Gambar 2). Hal ini merupakan suatu fenomena yang menarik, dan diduga terkait erat dengan tingkat mobilitas ikan. Ikan belanak dan kakap merah yang hanya tertangkap di satu lokasi pengamatan diduga memiliki mobilitas yang rendah (penyebaran migrasinya lebih sempit), sehingga peluangnya untuk terkontaminasi dengan Hg lebih besar dibandingkan Kandungan Merkuri dan Sianida pada Ikan yang Tertangkap dari Teluk Kao, Halmahera Utara (D. Simbolon et al.) ILMU KELAUTAN September 2010. vol. 15 (3) 126-134 Tabel 1. Kandungan merkuri (Hg) pada organ hati dan daging ikan yang tertangkap di Teluk Kao, Halmahera Utara Ikan sampel Hati (ppm) Daging (ppm) Sumber ikan sampel Kakap merah Belanak Biji nangka 0,13-0,38 0,16-0,36 0,45-0,51 0,06-0,19 0,05-0,25 0,03-0,04 Tj. Taolas Tj. Akesone Tj Taolas & Akesone Tabel 2. Tabel 3. Kandungan sianida (CN) pada organ hati dan daging ikan yang tertangkap di Teluk Kao, Halmahera Utara Ikan sampel Hati (ppm) Daging (ppm) Sumber ikan sampel Kakap merah Belanak Udang 6,6-18,0 6.0 - 5,0-6,6 4,2-7,2 6,0-8,5 Tj. Taolas Tj. Akesone Tj. Taolas & Akesone Tingkat kelayakan konsumsi berdasarkan kandungan merkuri (Hg) pada bagian daging dan hati ikan Jenis Ikan Kakap Merah Belanak Biji Nangka Udang Rata-rata kandungan Hg (ppm) pada organ tubuh ikan Daging 0,12 0,13 0,03 0,02 Threshold Hg (ppm) Hati 0,23 0,25 0,51 - 0,5 Kelayakan konsumsi ikan Daging Layak Layak Layak Layak Hati Layak Layak Tidak layak - Tabel 4. Tingkat kelayakan konsumsi berdasarkan kandungan sianida (CN) pada bagian daging dan hati ikan Jenis Ikan Kakap Merah Belanak Udang Rata-rata kandungan CN (ppm) pada organ Daging 5,8 5,7 7,3 Hati 12,3 6,0 - ikan yang memiliki mobilitas tinggi. Namun demikian, dugaan ini masih perlu dibuktikan melalui studi yang lebih komprehensif. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kandungan logam berat dalam tubuh ikan adalah tingkah laku makan ikan. Ikan yang spesiesnya berbeda umumnya memiliki pola tingkah laku makan dan penyebaran habitat yang berbeda pula. Penyebaran habitat dan pola tingkah laku makan ini akan berpengaruh terhadap interaksi ikan yang bersangkutan terhadap kandungan logam berat yang tersuspensi di dasar perairan. Lodenius & Malm (1998) telah menganalisis dampak penambangan logam berat terhadap ikan di perairan. Hasilnya menunjukkan bahwa kandungan logam berat tertinggi ditemukan pada kelompok ikan karnivora, kemudian menyusul pada ikan pemakan plankton (planktivora) dan omnivora, dan kandungan terendah ditemukan pada ikan herbivora. Logam berat, termasuk merkuri masuk ke dalam tubuh ikan melalui air, sedimen dan makanan yang dikonsumsi oleh ikan. Logam berat yang masuk ke perairan umumnya akan mengendap di dasar perairan karena merkuri memiliki densitas yang lebih Threshold CN (ppm) 4,5 Tingkat kelayakan konsumsi ikan Daging Tdk layak Tdk layak Tdk layak Hati Tdk layak Tdk layak - besar dari air laut. Selanjutnya, merkuri tersebut akan terakumulasi pada sedimen dan detritus. Apabila ikan termasuk kelompok pemakan sedimen dan detritus, maka peluang merkuri untuk masuk ke dalam tubuhnya akan semakin besar dan akhirnya akan terakumulasi dalam jumlah besar seperti halnya ikan belanak dan kakap merah yang tertangkap dari perairan Teluk Kao. Desta et al. (2007) menyatakan bahwa sedimen dan detritus biasanya mengandung kepekaan yang tinggi terhadap logam berat di dalam lingkungan yang tercemar, sehingga ikan pemakan sedimen dan detritus cenderung untuk mengakumulasi logam dalam kepekatan yang lebih tinggi. Kandungan merkuri pada bagian daging ikan biji nangka yang tertangkap di Tanjung Taolas dan Akesone relatif rendah (0,03-0,04 ppm) dibandingkan dengan ikan kakap merah (0,06-0,19 ppm) dan belanak (0,05-0,25 ppm). Namun kandungan merkuri pada organ hati ikan ini cukup tinggi dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Kandungan merkuri pada bagian hati ikan biji nangka ini sebesar 0,45 ppm di Tanjung Taolas dan 0,51 di Tanjung Akesone (Gambar 3). Menurut Pentreath (1976) akumulasi merkuri dalam biota laut terpusat pada organ tubuh yang Kandungan Merkuri dan Sianida pada Ikan yang Tertangkap dari Teluk Kao, Halmahera Utara (D. Simbolon et al.) 129 ILMU KELAUTAN September 2010. vol. 15 (3) 126-134 berfungsi untuk reproduksi, sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan biota laut terutama di dalam mengembangkan keturunannya. Disamping itu merkuri yang diakumulasi dalam tubuh ikan akan merangsang sistem enzimatik, yang dapat menurunkan kemampuan adaptasi bagi ikan bersangkutan terhadap lingkungan yang tercemar tersebut. Dengan kemampuan adaptasi yang menurun terhadap lingkungan yang tercemar ini, maka beberapa jenis ikan pelagis, terutama ikan teri telah menghilang dari Teluk Kao dewasa ini. Akibatnya perairan Teluk Kao semakin sulit dikembangkan sebagai daerah penangkapan ikan teri dan kegiatan budidaya ikan. Proses perpindahan logam berat secara biologis dari suatu tingkatan trofik yang rendah ke tingkatan yang lebih tinggi di dalam suatu struktur rantai makanan disebut proses biotransfer. Proses ini akan menyebabkan organisme yang tingkat trofiknya lebih rendah mempunyai peranan ekologis yang sangat penting pada suatu perairan dalam hubungannya sebagai sumber makanan bagi organisme lainnya (Ikingura et al., 1999). Dengan demikian, ikan yang telah terkontaminasi dengan logam berat di perairan Teluk Kao, walaupun pada saat ini konsentrasinya di perairan masih berada di bawah ambang batas, akan mempengaruhi status lingkungan perairan apabila dibiarkan lebih lama. Kandungan sianida (CN) dalam tubuh ikan Kandungan logam berat sianida yang ditemukan pada organ hati pada umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan bagian daging ikan. Hal ini terlihat jelas dari jumlah kandungan sianida pada bagian daging ikan kakap merah yang tertangkap dari perairan Tanjung Taolas dan ikan belanak yang tertangkap dari Tanjung Akesone (Tabel 2). Kandungan sianida yang ditemukan pada bagian daging udang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ikan kakap merah dan belanak (Gambar 4). Sedangkan kandungan sianida pada bagian daging udang yang tertangkap dari Tanjung Taolas lebih tinggi dibandingkan dengan yang tertangkap dari perairan Tanjung Akesone. Namun, kandungan sianida pada bagian daging ikan kakap merah yang tertangkap dari Tanjung Taolas hampir sama dengan ikan belanak yang tertangkap dari Tanjung Akesone (Gambar 4). Rata-rata kandungan sianida pada bagian hati ikan kakap merah yang tertangkap di Tanjung Taolas lebih tinggi dibandingkan dengan ikan belanak yang tertangkap di Tanjung Akesone (Gambar 5). Namun demikian, rata-rata kandungan sianida pada bagian daging kedua jenis ikan tersebut hampir sama, yaitu 5,8 ppm untuk ikan kakap merah dan 5,7 ppm untuk ikan belanak (Gambar 4). Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Teluk Kao. 130 Kandungan Merkuri dan Sianida pada Ikan yang Tertangkap dari Teluk Kao, Halmahera Utara (D. Simbolon et al.) ILMU KELAUTAN September 2010. vol. 15 (3) 126-134 Gambar 2. Rata-rata kandungan merkuri (Hg) pada bagian daging ikan yang tertangkap dari Tanjung Taolas dan Akesone. Gambar 3. Rata-rata kandungan merkuri (Hg) pada organ hati ikan yang tertangkap dari Tanjung Taolas dan Akesone. Gambar 4. Rata-rata kandungan sianida (CN) pada bagian daging ikan yang tertangkap dari Tanjung Taolas dan Akesone. Gambar 5. Rata-rata kandungan sianida (CN) pada organ hati ikan yang tertangkap dari Tanjung Taolas dan Akesone. Kandungan logam berat sianida dalam tubuh ikan yang tertangkap dari Teluk Kao jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan merkuri. Hal ini diduga akibat penambangan emas oleh PT. NHM yang menggunakan sianida untuk mengekstrak emas lebih banyak masuk ke perairan melalui beberapa sungai di sekitar Teluk Kao. Sianida yang kandungannya cukup tinggi pada tubuh ikan dapat menyebabkan keracunan, dan kerusakan metabolisme dalam organ ikan itu sendiri, bahkan dapat menyebabkan kematian. Menurut EPA (1987), (1987), sianida juga mengalami biokosentrasi kompleks pada ikan. Sianida dalam tubuh ikan juga dapat meracuni manusia yang memakannya. Dalam PP Nomor 18 juncto 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3 telah ditegaskan bahwa merkuri dan sianida telah ditetapkan sebagai limbah beracun dan berbahaya. Ion-ion sianida dalam tubuh ikan yang masuk melalui mulut atau membran insang akan segera melenyapkan enzim-enzim seperti cytrokrom oksidase pembawa oksigen ke sel-sel tubuh ikan. Akibatnya ikan akan mengalami keracunan dalam sel dan dapat menyebabkan kematian. Kandungan Merkuri dan Sianida pada Ikan yang Tertangkap dari Teluk Kao, Halmahera Utara (D. Simbolon et al.) 131 ILMU KELAUTAN September 2010. vol. 15 (3) 126-134 Kandungan sianida pada bagian hati ikan umumnya lebih tinggi dibandingkan pada daging. Hal ini wajar, karena makanan yang masuk ke dalam tubuh ikan akan diolah dan dihancurkan melalui serangkaian proses fisik dan kimiawi dan selanjutnya disebarkan ke seluruh tubuh dan sebagian disimpan sebagai cadangan energi dalam hati dan sebagai organ detoksifikasi (Moore et al., 1986). Tingkat kelayakan konsumsi Kandungan merkuri pada bagian daging berkisar 0,03-0,25 ppm, sedangkan pada organ hati berkisar 0,13-0,51 ppm. Sesuai dengan ketentuan WHO (2004), nilai batas ambang merkuri dalam kondisi masih aman dalam tubuh ikan sebesar 0,5 ppm. Hal ini berarti bahwa kandungan merkuri yang terdapat pada bagian daging ikan masih aman dikonsumsi, kecuali pada organ hati ikan biji nangka (Tabel 3). Ikan putih yang tertangkap dari Teluk Kao telah terkontaminasi dengan logam berat merkuri. Meskipun jumlah merkuri yang terdapat pada bagian daging ikan secara umum masih tergolong kategori aman, namun logam berat ini sangat berbahaya karena dapat memberikan efek racun terhadap fungsi organ yang terdapat dalam tubuh ikan. Oleh karena itu, bila masyarakat mengkonsumsi ikan dari Teluk Kao, sebaiknya membersihkannya terlebih dahulu dengan membuang bagian hati, dan cukup mengkonsumsi dagingnya saja. Selain itu, perlu dilakukan pengkajian ilmiah lebih lanjut dalam rangka mencari cara atau metode untuk menghilangkan kandungan logam berat yang terkandung dalam tubuh ikan sebelum dikonsumsi. Sebagian besar penduduk yang bermukim di sekitar wilayah pertambangan emas di Desa Tabobo sangat bergantung pada ikan sebagai sumber protein. Hal ini menunjukan bahwa mereka memakan ikan yang ditangkap dari perairan Teluk Kao. WHO (2004) telah menetapkan jumlah merkuri yang boleh masuk ke tubuh manusia berdasarkan PTWI (Provisional Toreable Weekly Intake). Jumlah merkuri yang diperbolehkan masuk ke dalam tubuh manusia selama satu minggu adalah 0,3 ppm total merkuri atau 0,2 ppm metil merkuri per minggu per 70 kg berat badan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka seseorang yang berat tubuhnya sekitar 70 kg hanya diperbolehkan memakan ikan yang telah mengandung merkuri sebesar 1 ppm dengan jumlah 300 gram per minggu. Kandungan sianida pada bagian daging berkisar 4,2-8,5 ppm, sedangkan pada organ hati berkisar 6,0-18,0 ppm. Sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh WHO 132 yang dikeluarkan oleh WHO (2004), nilai ambang (threshold) yang aman untuk kandungan sianida pada tubuh ikan konsumsi berkisar 1,52-4,5 ppm. Hal ini berarti bahwa ikan kakap merah, belanak, dan udang yang tertangkap dari Teluk Kao tidak layak dikonsumsi (Tabel 4). Sesuai dengan standar WHO (2004) tentang jumlah sianida yang boleh masuk ke tubuh manusia berdasarkan PTWI (Provisional Toreable Weekly Intake), maka jumlah sianida yang diperbolehkan masuk ke dalam tubuh manusia selama satu hari adalah 0,02 ppm dan 0,05 ppm untuk potassium sianida. Dengan demikian, kandungan sianida yang terkandung dalam tubuh ikan kakap merah, belanak dan udang yang tertangkap dari Tanjung Taolas dan Akesone cukup berbahaya untuk mengganggu kesehatan konsumen. Beberapa jenis sianida yang terdapat di dalam perairan akan menjadi senyawa yang sangat berbahaya jika terakumulasi pada tumbuhan dan zooplankton. Dengan demikian, kemungkinan besar juga akan diserap oleh ikan herbivora, ikan karnivora dan pada akhirnya dikonsumsi manusia sesuai dengan proses rantai makanan. WHO (2004) mengemukakan bahwa kosentrasi CN 0,05 mg/dl atau 0,05 ppm dalam darah akan menimbulkan efek keracunan bagi tubuh dan jika kosentrasinya di atas 0,3 mg/dl akan menyebabkan kematian. Pencemaran perairan akibat limbah sianida seringkali menjadi perhatian khusus bagi banyak pihak karena dapat menimbulkan keracunan kronis pada biota perairan. Sianida sejak lama terkenal sebagai racun karena dapat mengganggu fungsi otak, jantung, dan menghambat jaringan pernapasan, sehingga orang menjadi seperti tercekik dan cepat diikuti oleh kematian. Efek toksik logam berat dan zat kimia ini sulit dideteksi pada manusia karena reaksinya tidak terjadi segera setelah masuk ke tubuh. Berbagai kelainan seperti tumor, kelainan janin, kerusakan hati atau ginjal, timbul lama (mungkin bertahun-tahun) setelah pencemaran kronis. Pada waktu itupun hubungan kausal tidak dapat ditentukan kasus demi kasus, karena kelainan tersebut juga dapat terjadi secara spontan dan mirip penyakit. Hal ini hanya dapat dihubungkan secara asosiatif dalam studi epidemiologik. Dalam ketidakpastian seperti ini maka cara yang terbaik menghindari keracunan ialah dengan menghindari sumber-sumber air, makanan dan udara dari logam berat dan zat-zat kimia yang sangat berbahaya bagi manusia. Kesimpulan Kandungan merkuri dan sianida di perairan Teluk Kao Kandungan Merkuri dan Sianida pada Ikan yang Tertangkap dari Teluk Kao, Halmahera Utara (D. Simbolon et al.) ILMU KELAUTAN September 2010. vol. 15 (3) 126-134 Teluk Kao masih tergolong rendah atau di bawah baku mutu. Kandungan merkuri dan Sianida pada kakap merah, belanak, biji nangka, dan udang putih yang tertangkap dari Tanjunag Taolas dan Akesone, Teluk Kao paling tinggi terakumulasi pada organ hati dibandingkan bagian daging. Kandungan merkuri pada bagian daging berkisar 0,03-0,25 ppm, sedangkan pada organ hati 0,13-0,51 ppm. Kandungan sianida pada bagian daging berkisar 4,28,5 ppm, sedangkan pada bagian hati 6,0-18,0 ppm. Kakap merah, belanak, biji nangka, dan udang putih yang tertangkap dari Tanjung Taolas dan Akesone, Teluk Kao telah berada pada tingkat yang kritis (membahayakan) bila dikonsumsi dengan cara pengolahan yang kurang baik. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara atas dukungannya dalam kegiatan penelitian ini, dan kepada para staf Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor atas bantuannya dalam analisis sampel ikan. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada reviewer yang telah memberikan masukan perbaikan, sehingga dapat menambah bobot tulisan ini ke arah yang lebih baik. perairan Teluk Kao (Halmahera) dan perairan Anggai (Pulau Obi) Maluku Utara. J. Makara Sains, 12 (2): 97-101. EPA. 1987. Extremely hazardous substances list and threshold planning quantities: Emergency planning and release notification requirements. U.S. Environmental Protection Agency. Fed Regist. J. 52: 13378-13410. Halstead, B.W. 1972. Toxicity of marine organisms caused by polutanst in marine polutanst and sea life. FAO. Fising New (Book) Ltd Sureey England. 584-594. Hutagalung, H.P. 1984 Logam berat dalam lingkungan laut dalam. Ocean Journal. IX (1): 12-19. Ikingura, J.P. & H. Akagi. 1999. Methylmercury production and distribution in aquatic systems. Science of Total Environment J. 23(4): 109-118. Kambey, J.L., A.P. Farrel, & L.I. Bendell-Young. 2001. Influence of illegal gold mining on mercury levels in fish of Nort Sulawesi’s Minahasa Peninsula (Indonesia). Environ. Pollution J. 114: 299-302. Daftar Pustaka Kinghorn, A., P. Solomon, & H.M. Chan. 2007. Temporal and spatial trends of mercury in fish collected in the English-Wabigoon river system in Ontario, Canada. Science of Total Environment J. 372: 615-623. Baker, R. F., P.J. Blanchfield, M.J. Paterson, R.J. Flett, & L. Wesson. 2004. Evaluation of nonlethal methods for the analysis of mercury in fish tissue. Transac. Am. Fish. Soc. 133: 568-576. Lodenius, M. & O. Malm. 1998. Mercury in Amazon Rev. Enuiron Contam Toxical. Malm, O. 1998. Gold Mining as a Source of Mercury Exposure in the Brazilian Amazon. Environmental Research,73-78. Barmawidjaya, D.M., A.F.M De jong, K. Van der Borg, W.A. Van der Kaars, & W.J. Zachariasse, 1989. Kao bay, Halmahera, alate guarternary palaeo environmental record of a poorly ventilated net. Sea Res. J. 24 (4): 591-605. Limbong D., J. Kumampung, J. Rimper,T. Aria and N. Miyasaki. 2003. Emission and environmental implications of mercury from artisanal gold mining in North Sulawesi, Indonesia. Science of Total Enviroment J. 302: 227-236. Desta, Z., R. Borgstrom, B.O. Rosseland, & E. Dadebo. 2007. Lower than expected mercury concentration in piscivorous African sharptooth catfish Clarias gariepinus (Burchell). Science of Total Environment J. 376: 134-142. Moore, S.J., J.D. Norris, & I.K. Ho. 1986. The efficacy of ketoglutaric acid in the antagonism of cyanide intoxication. Toxicol Appl Pharmacol. J. 82: 40-44. Diniah. 1995. Korelasi antara kandungan logam berat Hg, Cd dan Pb pada beberapa ikan konsumsi dengan tingkat pencemaran di perairan Teluk Jakarta. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Edward. 2008. Pengamatan kandungan merkuri di ….. Ogola, J.S., W. V. Mitulla, & M.A. Omulo, 2002. Impact of gold mining on the invironment and human health. Environmental Geochemistry and Health J. 24: 141-158. Pentreath, R.J. 1976. The accumulation of mercury from seawater by the plaice (Pleuronectus platessa). Journal of Experimental Marine Biology & Ecolgy. 24: 121-132. Kandungan Merkuri dan Sianida pada Ikan yang Tertangkap dari Teluk Kao, Halmahera Utara (D. Simbolon et al.) 133 ILMU KELAUTAN September 2010. vol. 15 (3) 126-134 Supriharyono. 2007. Konservasi ekosistem sumberdaya hayati di wilayah pesisir dan laut tropis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 187 hal. WHO. 2004. Hydrogen cyanide and cyanides : Human health aspects ; Conicies Internatonal Chemical Assesment dokumen 61. Geneva. UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, Jakarta. 134 Kandungan Merkuri dan Sianida pada Ikan yang Tertangkap dari Teluk Kao, Halmahera Utara (D. Simbolon et al.)